OTONOMI DAERAH


OTONOMI DAERAH

Otonomi daerah telah bergulir selama 6 tahun. Otonomi daerah ini dapat dikatakan masih muda yang dalam perjalanannya perlu banyak evaluasi. Suara “sumbang” sering keluar dari berita dan fakta atas implementasi otonomi daerah. Contohnya adalah kasus DPRD sumatera Barat. Daera Sumatera Barat menurut Pusat Studi Pengembangan Kawasan (PSPK) adalah 7 besar provinsi terkorup di Indonesia. Tanggal 31 Januari 2002 DPRD Sumatera Barat menetapkan Peraturan Daerah tentang plafon APBD tahun 2002 sebesar Rp 453,8 Miliar. Seharusnya, paling lambat tanggal 14 Desember 2001. APBD tersebut diputuskan tidak sesuai dengan pertimbangan logis.
Perda tersebut sebenarnya menjadi tidak berguna dan tidak berarti karena sudah terlambat dan melanggar PP no. 105/2000 pasal 21 ayat 1,2,3. Dampak negatifnya adalah DPRD tidak terpacu untuk meningkatkankinerja dan peluang melakukan korupsi terbuka lebar.
Mencermati kasus DPRD Sumbar, modus yang dilakukan adalah dengan membuat anggaran yang saling tumpang tindih (duplikasi), anggaran yang tak ada dalam aturan PP No 110/2000. Menurut Koordinator FPSB Saldi Isra, penyimpangan itu antara lain pengalokasian dana premi asuransi pimpinan dan anggota DPRD sebesar Rp 2.519.200 per orang setiap bulan. Ini sebenarnya kedok untuk nantinya dana ini sebagai pesangon, bila tugas mereka berakhir. Karena tak ada ketentuan pesangon, dicari bentuk yang lebih halus, yakni asuransi. Padahal, dalam PP No 110/2000 pemberian premi asuransi ini tidak dikenal.
Kemudian, pengalokasian dana tunjangan kesejahteraan sebesar Rp 2 juta per orang per bulan. Pengalokasian dana tunjangan ini dimunculkan lagi pada pos lain dalam bentuk pengalokasian dana tunjangan pemeliharaan kesehatan sebesar Rp 367.014.000. Padahal, yang dimaksud dengan tunjangan kesejahteraan dalam PP No 110 tidak lain adalah tunjangan kesehatan itu sendiri yang diberikan dalam bentuk jaminan asuransi kesehatan. Dengan demikian, telah terjadi duplikasi pos anggaran tunjangan kesejahteraan.
Dari data keseluruhan daerah di Indonesia yang dimiliki oleh Kapuspekum Kejagung diduga sekitar 269 anggota DPRD provinsi, kota/kabupaten terkait korupsi. Status tersangkapun telah disandang oleh anggota DPRD Sumatera Barat (53 orang), Sumatera Selatan (85 orang), Lampung (75 orang ), Jawa Barat (41 orang), DIY (11 orang), NTB (3 orang), Sulut (1 orang).
Wewenang pejabat daerah menjadi sangat besar atas daerahnya. Peluang korupsi menjadi semakin terbuka lebar. Sepertinya korupsi berjalan searah/linier dengan otonomi daerah. Inilah salah satu mimpi buruk yang tidak diharapakan.
Fenomena lain yang terjadi setelah otonomi daerah adalah banyak bermunculan daerah-daerah baru hasil pemekaran.
Sejumlah kabupaten/kota baru muncul hanya dengan modal desakan dan lobi politik sekelompok orang, sampai-sampai dalam waktu kurang dari setahun, (Januari-November 2003), pernah terbentuk 48 kota/kabupaten baru. Selama empat tahun, total tercatat 110 kota/kabupaten baru, semuanya dengan akibat yang tak kalah mengerikan, kesenjangan antara daerah yang kaya dan miskin.
Daerah baru itu kebanyakan hanya dijadikan perluasan kekuasaan dan kekayan oleh para pejabat. Semua berlomba-lomba untuk menjadi provinsi,kota/kabupaten sendiri yang baru.
Di sisi lain, aspek kepemimpinan daerah pun tidak kurang mengenaskan. Dari pendapat responden(dari kompas) di 10 kota terlihat separuh lebih responden (51 persen) yang menyatakan tidak puas dengan kinerja gubernur mereka, sementara hanya 39 persen yang puas. Demikian pula terhadap kinerja bupati/wali kota, proporsi ketidakpuasan yang dikeluhkan tak jauh berbeda.
Itulah tadi beberapa sekelumit mengenai implementasi otonomi daerah yang berdampak negatif. Rasanya tidak obyektif jika kita melihat dari sisi negatif saja. Pastilah ada dampak positif dari otonomi daerah. Inilah beberapa dampak positifnya.
Umumnya, masyarakat cukup puas dengan meningkatnya pelayanan pendidikan, kesehatan, dan perbaikan prasarana umum. Dalam bidang pendidikan, 53,8 persen responden (dari kompas) merespons positif dampak pelaksanaan otonomi daerah terhadap peningkatan kualitas pendidikan di daerah mereka sekarang. Sementara dalam bidang kesehatan, 55,6 persen responden merasa puas dengan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat yang ada di daerah mereka saat ini. Tanggapan serupa dilontarkan responden terhadap perbaikan kondisi sarana umum, seperti dalam hal perbaikan alat transportasi dan jalan raya.

Dalam bidang politik, otonomi daerah juga membawa angin perubahan yang cukup mendasar dalam mendorong demokrasi lokal. Pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung yang dilakukan sejak Juni 2005 merupakan produk riil otonomi daerah bagi pengembangan demokrasi lokal. Kendati menimbulkan banyak masalah, pelaksanaan pilkada mampu menghasilkan pemimpin daerah yang dipilih secara langsung oleh masyarakatnya. Paling tidak, suasana kebebasan politik yang hendak diperkenalkan di tingkat lokal ini dirasakan positif oleh sebagian besar (69 persen) responden.
Saya rasa Pemilihan Kepala Daerah secara langsung menjadi dampak positif yang sering didengungkan dan beberapa dampak lain seperti kebijakan daerah yang tidak lagi diberikan secara seragam oleh pusat. Daerah bisa berinisiatif melakukan kebijakan sesuia potensi, aspirasi, sosio-kultural masyarakat setempat.
Otonomi daerah seperti yang telah dikemukakan diawal, masih perlu dievaluasi, diperbaiki dan diawasi dari pihak terkait. Karena masih sering terjadinya penerjemahan secara subyektif dari masing-masing daerah dan cenderung menjauh dari “mimpi manis” otonomi daerah. Diluar dari segala dampak negatif yang ada otonomi diharapkan dapat menjadi pioner pembangunan Indonesia.




Sumber :
Kompas, 25 Oktober 2003
Kompas, 5 Oktober 2005

0 Response to "OTONOMI DAERAH"