ICAL, TEMPO dan DEWAN PERS


Beberapa waktu lalu kasus pencemaran nama baik oleh pers kembali terjadi. Kali ini Menkokesra Aburizal bakrie atau Ical yang “kebakaran jenggot” atas pemberitaan majalah Tempo edisi 17-23 November 2008.
Dalam Tempo edisi tersebut, diantaranya berisi tentang Grup Bakrie lengkap dengan isu Lumpur Lapindo dan PT Bumi Resources. Tempo juga memuat gambar Ical dengan dihiasi gradasi dan tekstur angka-angka yang salah satunya 666 di bagian pelipisnya yang dikenal mewakili angka kesesatan atau angka iblis. Serta alasan Ical menjadi Menteri karena dia penyumbang kampanye terbesar bagi SBY dan JK.
Apa yang menarik dari kasus ini? Beberapa masalah pencemaran nama baik oleh pers kebanyakan berakhir di meja hijau. Seperti kasus Tempo dengan Tomy Winata. Tapi untuk kasus ini Ical mengadukan ke dewan pers. Langkah seperti ini pernah diambil Laksamana Sukardi atas kasus pemberitaan di beberapa media yang memojokkan dirinya karena dianggap melarikan diri keluar negeri beberapa tahun lalu.
Langkah mengadukan Tempo ke Dewan Pers merupakan langkah positif dan elegan. Karena langkah tersebut menunjukkan bahwa Ical menghormati kebebasan pers dan mempercayai Dewan Pers. Dalam kasus ini UU Pers benar – benar digunakan (lex specialist).
Dewan Pers merupakan lembaga yang melakukan pengawasan terhadap penegakan etika pers. Tugas Dewan Pers adalah mediator antara masyarakat dan pers. Dewan Pers bekerja di ranah kode etik. Dewan Pers akan menguji karya jurnalistik dan memberikan penilaian mengenai kualitas berita. Di dalam buku penyelesaian sengketa pers karangan Juniver Girsang ditulis bahwa dalam dunia pers dikenal istilah absence of malice ( tidak ada niat jahat). Artinya bahwa, penanggulangan dalam pemberitaan yang dilakukan oleh jurnalis profesional dilakukan untuk perbaikan atas kelalaian dan kesalahan praktik jurnalistik. Solusi bisa berupa hak jawab atau permintaan maaf secara terbuka. Inilah yang dituntut oleh Ical.
Jika Dewan Pers melihat adanya kesengajaan dalam kasus ini. Maka Ical bisa saja menggugat Tempo ke pengadilan. Jika sudah begini, itu bukan ranah Dewan Pers lagi. Tapi semua tergantung kepada pihak yang merasa dirugikan akan mengadukan ke pengadilan atau tidak.
Sebenarnya solusi berupa pemberian hak jawab dan permintaan maaf secara terbuka sudah memberatkan media. Karena dengan adanya hal itu, membuktikan bahwa media tersebut tidak memiliki kredibilitas, profesional, dan kurang dapat dipercaya dalam pemberitaannya. Ini bisa mengakibatkan ”larinya” para pembaca atau pemirsa dari media tersebut.
Diluar dari siapa yang salah dan benar. Hendaknya kasus ini dijadikan bahan evaluasi bagi kita semua terutama bagi pers. Pers bekerja berdasar hak asasi manusia untuk memperoleh informasi dan menyebarkannya, tapi kerja pers dibatasi oleh etika. Evaluasi atas kinerja yang sesuai etika haruslah menjadi prioritas utama.




1 Response to "ICAL, TEMPO dan DEWAN PERS"

  1. Anonim Says:
    4 Januari 2009 pukul 19.57

    > stuju saia...eTika emg kdg tLupa krn keasikan ngorek info...pdHL statement yg masi abu2 bs ngRugiin salah satu pihak...

    > jang lupa kunjungi bLog saia...comment2 jgg..:p

    > matur nuwun.